6 Puisi Ibu Singkat 4 Bait yang Mengharukan
Seseorang di dunia ini yang patut kami cintai dan hormati adalah ibu. Sosok berikut bagaikan malaikat yang diberikan ke dalam dunia ini bagi masing-masing diri kami kami dapat membalas kebaikan hati ibu bersama selalu menyenangkan hatinya dan berada di sisinya. tidak cuman itu, kita termasuk bisa menyatakan rasa sayang kita bersama dengan membuat puisi ibu singkat 4 bait, di mana dalam puisi ini bakal digambarkan perasaan cinta kasih atas segala pengorbanan ibu untuk kita.
Berikut adalah kumpulan puisi yang didedikasikan untuk ibu yang udah banyak mau berkorban untuk kami disadur berasal dari buku Antologi Puisi Kasih Ibu sepanjang jaman oleh Dahlia Damayanti Sholikhah, dkk (2021:12-23):
Puisi Ibu Singkat 4 Bait yang Mengharu Biru
Syair untuk Ibu
Ibu tiap-tiap rintikkan air matamu
Menyadarkan diriku atas perbuatanku
Pengorbanan yang telah kau memberi untukku
Selalu ku kenang sepanjang hidupku
Di bawah redupnya pelita malam
Kurebahkan kepalaku di pangkuanmu
Aku merasakan hati yang penuh ketenangan
Lewat belaian hangat tangan halusmu
Ibu
Kaulah jantung dan hatiku
Darahmu mengalir deras di tubuhku
Semua perihal lukamu terikat di batinku
Kutuliskan syair ini untukmu ibu
Dengan bait yang segera terhubung denganmu
Dikiasi oleh goresan pena yang indah
Syair ini bakal selalu mewarnai hidupmu
Teruntuk Ibunda
Semilir sarayu yang bersibak didalam afsun swastamita
Tak memupuskan langkah bunda tuk menyiratkan afeksinya
Setiap malam, kidung harsa terdengar manis dalam Ruang hampa
Tanpa ingin eulogil kendati peluh melumpuhkan sekujur atma
Kalbuku berdegup lihat wajah cantikmu seakan ga ada beban
Tutur manismu dapat mengiringi seluk-beluk kehidupan
Meredum tamparan perkara yang mengantui kalbu; berhamburan
Hingga atma berdaya melampaui liku buana kian pagan
Di lagi tengah penghujung malam, terselip doa kendati derai menerpa
Memanjatkan doa teruntuk bunda yang menyuguhkan afeksi amerta
Tak lesap dirimu didalam jelma seram yang mencemaskan asa
Meninabobokan elegi mulai nirwarna didalam candramawa
Mungkin, aksara di dalam pena ini tak sepadan adorasimu kian Nirmala
Walau netra menatapku sebagai insan apatis tak berperasa
Kau menatapku laksana insan anindita tanpa dosa
Oh Tuhan, mampukah hamba mengabdi jasa bunda yang tak bisa ku jangka?
Bidadari pergi tak berpamit
Jerit kalbu memekik pilu
Duka selaksa kian terasa
Wajah berseri kini pucat paci
Belai tangan takkan merasa lagi
Dalam sepi kuratapi
Kasih pergi tanpa permisi
Terisak tangis tersembunyi
Bayang gelap pun menyelimuti
Kendati banyak mata mengasihani
Sosok putri kini seorang diri
Teringat pesan yang kau ajari
Ingatlah Tuhan bahwa kau tak sendiri
Teruntuk segala perihal yang anda torehkan
Kata yang tak sempat kuucapkan
Terima kasih semesta telah menghadirkan
Bidadari terindah dalam kehidupan
Ibuku
Tak kan kulupakan jasamu ibu
Kau mengandungku, melahirkanku
Resah, gelisah merasa satu
Kau rasakan di di dalam kalbu
Setiap saat berjalan
Pekerjaanmu begitu melelahkan
Walau letih keringat bercucuran
Tak dulu engkau keluhkan
Ibu…
Kau curahkan cinta kasihmu
Kau belai dengan sentuhan lembutmu
Mendidikku dengan kasih sayangmu
Agar saya terasa maju
Ibu…
Tak hentinya saya membuatmu marah
Hingga kamu menjadi gundah
Namun, engkau masih tabah
Tersenyum ramah tanpa keluh kesah
Dirgahayulah ibunda
Salam baktimu Ananda
Teriring ucapan doa
Semoga Tuhan mengabulkannya
Pahlawan Pertama
Deraian berevolusi mengajarkan butiran arsih
Membentuk populasi mengundang cerita bersih
Melambung cerita indung fantasi bersimpuh sedih
Inspirasi termaktub insolven kuat bertanding gigih
Konstruktif membangun ufuk suar tidak ada berlebih
Memakan lahap senang duka habis tidak ada serpih
Ladang cinta kasih berwujud madrasah tanpa berpilih
Naim membimbing relung pancur ingin tidak pamrih
Nasehat elok bertentangan harapan bersorak sampai berbuih
Relevansi kuat menyambung sendir pamer alot terlatih
Pancang akhlak tanamkan anak lumur berjerih
Panduan ibu melodramatis, biarkan ia tidak bersedih
Lembut, Sayup, Tua Renta
Kala mata terbuka
Kala hati menitihkan air mata
Kala dunia menghujat dan menghina
Tapi kau bakal tetap datang membela
Tak jarang pula saya menyuruhmu tanpa rasa malu
Menambah bebanmu yang gak sedikitpun saya bantu
Membentakmu dengan mimik kesalku
Hanya karena sepasang busana yang belum sempat dilipat untuk sekolahku
Apa wajib bersama dengan kehilanganmu saya dapat tersadar?
Apa mesti dengan membiarkanmu tergeletak di lantai saya dapat mengerti?
Apa harus bersama dengan melihatmu tak kembali diisi saya dapat berubah?
Aku tak sanggup lagi walau cuman mengkhayal sendiri.(Ester)